
Jepara Pos – Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat selama bertahun-tahun telah memainkan peran dominan dalam mengendalikan pengembangan militer dan persenjataan tentara Lebanon. Menurut pakar militer Lebanon, Nidal Zahwi, hal ini telah membatasi kemampuan tentara Lebanon dalam menghadapi agresi Israel dan terlibat dalam kontak tempur. Zahwi, yang berpangkat kolonel dalam ketentaraan Lebanon, menjelaskan bahwa ketergantungan Lebanon pada kekuatan persenjataan Barat telah mengakibatkan ketidakmampuan angkatan bersenjata negara itu untuk mempertahankan kedaulatannya.
“Secara historis, tentara Lebanon sangat kurang persenjataan. Ketergantungan pada kekuatan Barat menghalangi penguatan tentara agar tidak mampu melindungi kedaulatannya, terutama dari ancaman Israel,” ungkap Zahwi. Ia menegaskan bahwa hubungan ketergantungan ini lebih kuat daripada hubungan tentara dengan pemerintah Lebanon. Meskipun para tentara dan perwira memiliki niat untuk membela tanah air mereka, mereka terpaksa tidak dapat melakukan banyak hal akibat kurangnya peralatan seperti pesawat dan sistem pertahanan udara.
Zahwi menyebutkan bahwa saat ini, angkatan bersenjata Lebanon lebih banyak terlibat dalam tugas domestik, seperti membantu kepolisian, daripada terlibat dalam operasi militer. Ia menyatakan bahwa AS menutup semua peluang bagi Lebanon untuk meningkatkan kekuatan militer mereka karena kepentingan strategis yang berkaitan dengan Israel. Washington, menurut Zahwi, berperan sebagai penjamin keamanan Israel dan berupaya meminimalkan ancaman terhadap negara tersebut.
Lebih lanjut, Zahwi menjelaskan bahwa krisis ekonomi yang dipicu oleh AS pada tahun 2019 telah memperburuk kondisi tentara Lebanon. Upaya pihak berwenang untuk beralih ke Rusia atau Iran untuk mendukung persenjataan tentara terhambat oleh kekurangan dana, yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk membeli dan merawat peralatan militer.
Dari perspektif sosial, Zahwi menjelaskan bahwa profesi militer di Lebanon dulunya sangat dihormati dan memberikan berbagai manfaat sosial. Namun, kondisi kehidupan saat ini telah menjadikan profesi tersebut kurang menarik. Sebagai contoh, gaji seorang perwira yang sebelumnya mencapai 3.500 dolar AS (sekitar Rp54,6 juta) kini hanya sekitar 300 dolar AS (sekitar Rp4,6 juta). Situasi ini telah mendorong banyak perwira untuk meninggalkan dinas militer demi mencari pekerjaan lain yang lebih menguntungkan.
Zahwi juga menyoroti ketergantungan tentara Lebanon pada AS, mencatat sebuah insiden di perbatasan di mana seorang penjaga perbatasan Lebanon tanpa perintah menembaki drone Israel. Akibatnya, AS membekukan pasokan amunisi kaliber 5,56 ke tentara Lebanon selama hampir dua tahun.
“Tanpa dukungan yang memadai, tentara Lebanon tidak memiliki kekuatan atau sumber daya untuk melawan intervensi darat dari Israel. Teknologi militer Israel jauh lebih unggul dibandingkan dengan kemampuan militer Lebanon,” tambah Zahwi.
Pada 1 Oktober, tentara Israel memulai operasi darat terbatas di Lebanon selatan, berusaha menguasai permukiman di perbatasan. Sejak 23 September, wilayah selatan dan timur Lebanon, serta pinggiran selatan Beirut, telah menjadi target serangan udara besar-besaran. Dampak dari konflik ini sangat parah, dengan lebih dari satu juta orang menjadi pengungsi, lebih dari 2.000 orang tewas, dan sekitar 9.000 lainnya terluka. Kondisi ini semakin menegaskan tantangan yang dihadapi oleh tentara Lebanon dalam menjaga kedaulatan dan keselamatan wilayahnya.