Jepara Pos – Pelapor Khusus PBB untuk hak atas pangan, Michael Fakhri, mengungkapkan keprihatinannya mengenai kelaparan yang melanda Gaza akibat tindakan Israel dalam sebuah konferensi pers yang digelar pada Jumat (18/10). Fakhri menekankan bahwa isu kelaparan di Gaza tidak hanya sekadar masalah kemanusiaan, tetapi juga merupakan hasil dari pilihan-pilihan kebijakan yang diambil selama beberapa dekade. “Kelaparan tidak muncul secara tiba-tiba. Ini bukan hanya terjadi di tengah konflik. Kelaparan adalah akibat dari keputusan yang telah dibuat selama puluhan tahun,” ungkap Fakhri.
Fakhri menjelaskan bahwa kebijakan Israel telah menimbulkan kelaparan bagi 2,3 juta penduduk Palestina di Gaza, yang ia sebut sebagai serangan sistematis terhadap hak-hak mereka. Ia mempertanyakan bagaimana Israel dapat menyebabkan kelaparan pada jutaan orang di Gaza dalam waktu yang singkat. “Pada bulan Desember 2023, semua orang di Gaza mengalami kelaparan,” tegasnya. Ia mengaitkan krisis ini dengan rencana aneksasi yang diumumkan oleh Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dalam Sidang Umum PBB pada September 2023. Fakhri mencatat bahwa Israel tidak memberikan argumen yang substansial untuk membantah klaim bahwa tindakan mereka merupakan bentuk kelaparan dan bahkan genosida.
Lebih jauh, Fakhri menyoroti peran ekonomi politik dalam menciptakan kondisi ini, termasuk perampasan tanah, pendudukan, dan komodifikasi benih. Ia juga mengekspresikan keprihatinan tentang kurangnya akuntabilitas dalam situasi ini dan menekankan pentingnya menuntut tanggung jawab dari negara dan perusahaan yang terlibat. “Bukan hanya individu yang bertindak secara jahat, tetapi ada struktur sistemik yang mendukung tindakan tersebut. Kita perlu menuntut akuntabilitas dari negara dan perusahaan,” imbuhnya.
Pelapor Khusus PBB untuk hak atas air, Pedro Arrojo-Agudo, turut menambahkan bahwa kelaparan dan penghancuran rumah merupakan strategi dalam perang, dengan menyatakan bahwa penggunaan air sebagai “senjata senyap” menjadi strategi yang khusus diterapkan di Gaza. Ia menegaskan bahwa pengabaian terhadap hukum internasional dalam konteks ini dapat mengancam eksistensi PBB itu sendiri.
Sementara itu, Pelapor Khusus PBB untuk hak atas perumahan, Balakrishnan Rajagopal, menggambarkan kehancuran yang terjadi di Gaza sebagai “bentuk penghancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya.” Ia membandingkan kondisi ini dengan beberapa konflik paling menghancurkan dalam sejarah modern, mempertanyakan tujuan militer di balik kehancuran tersebut. “Jika yang terjadi di Gaza adalah perang, maka tujuan dari perang adalah mencapai kemenangan. Tapi bagaimana kita mengukur kemenangan dalam konteks ini? Skala kehancuran yang terjadi sulit untuk dipahami,” ujarnya.
Rajagopal juga memprediksi bahwa upaya untuk membangun kembali Gaza bisa memakan waktu yang sangat lama, sekitar 80 tahun, mengingat tingkat kerusakan yang dialami dan terus berlanjutnya pendudukan. Dengan melihat situasi ini, jelas bahwa tantangan yang dihadapi oleh penduduk Gaza bukan hanya fisik, tetapi juga struktural dan sistemik, yang memerlukan perhatian dan tindakan internasional yang lebih signifikan.