Jepara Pos – Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Josep Borrell, pada hari Kamis menyatakan kritik keras terhadap pemerintah Amerika Serikat karena memberikan perpanjangan waktu selama satu bulan kepada Israel, meskipun sudah banyak korban jiwa yang berjatuhan di Gaza. Ia merujuk pada peringatan yang dikeluarkan AS terhadap Israel, di mana mereka diminta untuk memperbaiki kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza, yang saat ini berada di bawah pendudukan.
Dalam keterangannya kepada wartawan di sela-sela rapat Dewan Uni Eropa di Brussel, Borrell mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan tersebut. “Mereka memberikan penundaan satu bulan, padahal sudah terlalu banyak orang yang terbunuh,” ujarnya.
Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, dan Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, sebelumnya telah mengirimkan surat kepada Israel, memperingatkan mereka agar memperbaiki situasi kemanusiaan di Gaza dalam waktu satu bulan. Jika Israel gagal mematuhi, AS mengancam akan memberlakukan embargo senjata. Keputusan ini mendapat kritik dari berbagai pihak, termasuk Borrell, yang merasa penundaan ini hanya akan memperburuk kondisi di lapangan.
Borrell juga menyebutkan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berada di bawah serangan dari berbagai sisi oleh pemerintah Israel. Salah satu serangan terbaru yang menjadi sorotan adalah serangan terhadap Pasukan Sementara PBB di Lebanon (UNIFIL). Beberapa anggota pasukan penjaga perdamaian ini terluka dalam serangan Israel, yang kemudian memicu kecaman dari komunitas internasional. Serangan terhadap pasukan penjaga perdamaian dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hukum internasional.
Selain itu, Borrell mengungkapkan bahwa PBB secara keseluruhan sedang diserang oleh Israel. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dituduh memiliki sikap anti-Yahudi, sementara UNRWA (Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina) bahkan disebut sebagai organisasi teroris oleh Israel dan dilarang beroperasi di wilayah negara tersebut. Tuduhan tersebut mengakibatkan banyak donor internasional, termasuk Amerika Serikat, menangguhkan pendanaan mereka untuk UNRWA.
UNIFIL sendiri dibentuk pada Maret 1978 dengan tujuan memastikan penarikan pasukan Israel dari Lebanon serta membantu pemerintah Lebanon memulihkan otoritasnya di wilayah tersebut. Sejak itu, mandat UNIFIL telah diperluas, terutama setelah perang antara Israel dan Hezbollah pada tahun 2006, untuk memantau gencatan senjata dan memfasilitasi bantuan kemanusiaan.
Sementara itu, UNRWA, yang didirikan lebih dari 70 tahun lalu oleh Majelis Umum PBB untuk membantu warga Palestina yang mengungsi, menghadapi kendala dalam menjalankan tugasnya setelah tuduhan Israel bahwa beberapa karyawan UNRWA terlibat dalam serangan Hamas pada Oktober 2023. Meskipun tuduhan ini belum didukung bukti kuat, hal tersebut telah mempengaruhi kemampuan UNRWA dalam memberikan bantuan, terutama di Gaza, di mana banyak penduduknya menghadapi ancaman kelaparan.
Israel juga telah meningkatkan serangan udara di Lebanon, yang mereka klaim ditujukan untuk menargetkan Hezbollah. Serangan ini, yang merupakan bagian dari eskalasi konflik lintas batas, telah menewaskan lebih dari 1.400 orang, melukai ribuan lainnya, dan memaksa lebih dari 1,3 juta orang mengungsi. Ini terjadi di tengah-tengah perang Israel di Jalur Gaza, yang dimulai setelah serangan lintas batas oleh Hamas pada 7 Oktober tahun lalu.
Sejak awal konflik di Gaza, lebih dari 42.400 orang, mayoritas di antaranya adalah wanita dan anak-anak, telah terbunuh. Israel memulai invasi darat ke Lebanon pada 1 Oktober, yang semakin memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah tersebut.