Jepara Pos – Kekerasan yang terus berlanjut di Jalur Gaza, Palestina, merupakan salah satu babak tragis dalam konflik yang berkepanjangan antara Israel dan Palestina. Hingga kini, meskipun Israel mengklaim berhasil membunuh pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, pernyataan tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda meredanya pertikaian. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dengan tegas menyatakan bahwa perang akan terus berlanjut meskipun salah satu tokoh penting dalam gerakan perlawanan telah tiada.
Sejak dimulainya serangan besar-besaran pada 7 Oktober 2023, yang oleh banyak kalangan disebut sebagai perang genosida, angka kematian di pihak Palestina semakin mencengangkan. Menurut laporan, sekitar 42.409 warga Palestina telah dibunuh selama periode tersebut. Angka tersebut tidak hanya sekadar statistik, tetapi juga mencerminkan duka mendalam yang dialami oleh banyak keluarga di Gaza. Salah satu saksi dari tragedi ini adalah Dr. Tariq Haddad, seorang dokter spesialis jantung yang kini tinggal di Amerika Serikat. Dalam pengakuannya, Haddad melukiskan bagaimana nasib keluarganya menjadi contoh dari kekejaman yang terjadi.
Haddad menyatakan bahwa selama tahun lalu, 175 anggota keluarganya dibunuh oleh pasukan Israel. Dalam wawancara dengan Al Arabiya News, ia menceritakan kisah Hamza, seorang bocah berusia 10 tahun yang kehilangan seluruh keluarganya akibat serangan tersebut. Hamza terbangun di rumah sakit setelah mengalami amputasi, hanya untuk menemukan bahwa orang tuanya, pamannya, kakek-neneknya, dan semua anggota keluarganya telah tiada. Tragisnya, Hamza kemudian meninggal dunia akibat trauma yang dialaminya. Kisah ini bukan hanya menggambarkan satu tragedi individu, tetapi juga mencerminkan penderitaan yang lebih besar yang dialami oleh banyak keluarga di Gaza.
Dr. Haddad yang sehari-hari menyelamatkan nyawa orang asing di rumah sakit, merasa tak berdaya saat keluarganya sendiri menjadi korban kekerasan. Ketika cerita memilukan ini sampai ke telinga Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, Haddad diberikan kesempatan untuk bertemu. Namun, pertemuan tersebut dijadwalkan hanya berlangsung selama tiga menit. Bagi Haddad, waktu yang sangat singkat itu jelas tidak memadai untuk menyampaikan semua kemarahan dan keputusasaannya.
“Bagaimana saya bisa menatap mata seseorang selama tiga menit yang tidak hanya dapat mencegah kematian anggota keluarga saya dan 15.000 anak di Gaza, tetapi juga secara aktif berkontribusi terhadap penderitaan mereka dengan menyediakan amunisi militer dari pasokan militer AS?” demikian ungkapan kekecewaan Haddad. Merasa waktu yang diberikan tidak cukup, Haddad memilih untuk menulis surat sepanjang 12 halaman untuk menyampaikan segala perasaannya.
Sayangnya, surat tersebut tidak mendapatkan balasan. Ketidakpedulian ini memperlihatkan tantangan yang dihadapi oleh banyak orang di Gaza yang berjuang melawan kebiadaban yang terjadi di sekitar mereka. Kisah Dr. Haddad adalah pengingat akan kemanusiaan yang hilang dalam pertempuran dan kekerasan. Banyak orang yang berharap agar suara mereka didengar dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan yang akan berdampak pada hidup dan mati banyak orang di kawasan tersebut. Di tengah konflik yang tak kunjung reda ini, harapan akan perdamaian dan keadilan tampak semakin jauh dari jangkauan.